Dari Meninting Besar Hingga Ke Soto Rp. 1500,-

Kamis, 9 Juni 2011 pukul 07.00

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Selama beberapa minggu resmi menjadi pengangguran, mengalami kebosanan stadium akut. Setidaknya saya terbebas dari UAN laknat dan SNMPTN biadap itu, sekarang tinggal berdiam diri dan berdoa habis-habisan–dan terkadang meminta doa pada sembarang orang yang ditemui di jalan. Yah, doakan saya semoga lolos SNMPTN ya kawan-kawan! 🙂

Hari ini saya diajak oleh kawan facebook saya, Pakde Robert untuk hunting bareng di kawasan TNGM. Dia adalah seorang fotografer wildlife yang sering men-tag foto-foto burung super “cling”. Nah, kebetulan dia ingin tahu spot-spot Avidiversity di Jogja, langsung saja saya ajak ke Tlogo Putri, Kaliurang.

Malamnya, saya menghubungi kawan-kawan PPBJ (Paguyuban Pengamat Burung Jogja), kalau-kalau ada yang mau ikut menemani. Dari sekian ratus yang saya sms, cuman Mas Untung, dedengkot Biolaska UIN Sunan Kalijaga yang menkonfirmasi bisa ikut hunting bareng.

Nah, pagi ini saya dan my lovely Black-stripped Redmatic Duck (Ini nama motor lo! :p) langsung tancap gas ke arah utara, menembus hawa dingin yang luar biasa ganas. Sampai di Kaliurang langsung menjadi numb alias kaku akibat kedinginan. Padahal saya cuman bermotor selama 15 menit, bayangkan bagaimana perasaan Pakde Robert bermotor 2 jam dari Solo sampai di Kaliurang!

Nah, setelah berkenalan dan saling share (kami belum pernah bertemu sebelumnya), kami memasuki gerbang Hutan Wisata Tlogo Putri dan mulai melihat-lihat suasana sambil menanti mas Untung datang. Pakde Robert langsung mengeluarkan senjatanya, sesuatu yang membuat mata saya berbinar-binar. Awalnya cuman DSLR body only Canon EOS 550 D, cukup standar. Tapi tiba-tiba dia mengeluarkan benda putih megkilat, lensa Zoom (saya lupa mereknya) 100-400mm IS!

Me and Pakde Robert's Canon EOS 550 D and Zoom Lens 100-400 mm IS

“Waah,kalau masih gelap seperti ini lensa saya belum mampu berfungsi”, ujarnya. Maklum, kaliurang di pagi hari selalu dirundung kabut dan mendung. Kami pun memutuskan untuk “mangkal” sebentar di air terjun Tlogo Putri yang masih sangat sepi.

Saya berpikir, “pasti asyik kalau ada Meninting disini”. Meninting (Enicurus sp) adalah burung cantik dari marga Turdidae (Anis, punglor dll). Burung ini memang suka mengunjungi daerah-daerah di sekitar aliran air, tapi sifatnya yang pemalu membuat saya ragu dia bisa berada di kawasan wisata ini. Terakhir kali saya melihat salah satu spesiesnya, Meninting Kecil (Enicurus /Lesser Forktail) di air terjun Cibadak yang terpencil, di hutan hujan pegunungan TN Gn. Halimun-Salak (TNGHS).

Beberapa saat kemudian, kami yang sedang megamati gerombolan burung Kacamata Biasa (Zosterops palpeborus/Oriental Whiteye) tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan seekor burung bercorak hitam putih di sekitar sungai lanjutan dari air terjun. Wow, saya nggak percaya: itu Meninting Besar (Enicurus leschenaulti/White-crowned Forktail)!

Kacamata biasa (Zosterop palpeborus/Oriental White-eye) by Pakde Robert

Pakde Robert dengan senjatanya langsung membidik si burung hitam putih yang lincah, berlompatan dari satu cabang ke cabang lain. Tapi sial, cahayanya masih sangat minim, ditambah tremor gara-gara gemetar kedinginan. Yasudah, semua frame yang diambil harus di-delete karena hancur sehancur hancurnya ==’

Oke, sudah cukup kami misuh-misuh karena nggak dapat frame bagus. Setidaknya ada lifer baru di Lifer-list saya, #249: Meninting Besar (Enicurus leschenaulti). Yeay!

Akhirnya Mas Untung datang bersama satu orang kawannya, Mas Imam Biolaska (bedakan sama Mas Imam dari Grup Meninting yang suka bergadang dan berambut urak-urakan :p). Nah, kamipun meninggalkan lokasi air terjun meski belum mendapatkan frame yang bagus, dan beralih pada pergerakan seekor burung besar di sisi lain taman.

“Ciung-batu Kecil”, ujar saya. Ya, Ciung-batu Kecil (Myophonus glaucinus/Sunda Whistling-trush) adalah burung dari yang cukup umum dijumpai disini, tapi memotretnya adalah tantangan yang luar biasa. Warnanya hitam pekat dan suka bermain di tempat-tempat gelap disemak-semak. Karena kebiasaannya itulah, lagi-lagi kami gagal mendapatkan frame yang “cling” dari burung ini.

Kami meneruskan perjalanan mendaki anak-anak tangga menuju puncak Plawangan. Cukup melelahkan, apalagi di 500 meter pertama disaat kami pemanasan tidak ada satupun burung yang bisa diamati.

“Raptor!”, ujar Mas Untung. Dan ya, seekor raptor (burung pemangsa) berukuran sedang melintas sangat cepat dari arah timur ke barat, sangat cepat sehingga kami tidak bisa mengidentifikasinya. Beberapa menit kemudian datang lagi 2 ekor, soaring tepat diatas kami. Kami pikir itu adalah 2 ekor Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus/Oriental Honey Buzzard), tapi tetap saja kami ragu.

Beberapa ratus pertama terasa sangat sepi, bahkan ditempat dimana kami sering menemukan burung-burung cantik macam B. Madu Gunung (White-flanked Sunbird) atau Sikatan Ninon (Eumyas indigo/Indigo Flycatcher). Hanya ada Srigunting Kelabu (Dicurus leucophacus/Ashy Drongo) yang narsis bergaya di atas ranting kering.

“Manuke do neng ngendiii???”, keluh kami.

Hampir satu jam lamanya, kami bertemu dengan beberapa burung kecil macam Gelatik-batu Kelabu, Takur Tulungtumpuk dan Kangkok Ranting. Sialnya kami lagi-lagi tidak mendapatkan frame yang bagus dari burung-burung tersebut.

Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus/Orange-spotted bulbul) by Pakde Robert
Srigunting Kelabu (Dicurus leucophaeus/Ashy Drongo) by Pakde Robert

Lebih sial lagi, kami beremu dengan dua gerombolan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis/Long-tailed Macaquez) dengan pejantan Alpha-nya yang mengerikan. Tidak ada yang bisa kami lakukan, lampu flash dan stik kayu tak mempan menakuti mereka. Perundingan pun gagal dilakukan, karena kesulitan komunikasi antar spesies. Yasudah, terpaksa kami menunggu karnaval itu lewat.

Sang Penghadang..by Pakde Robert

Tiba-tiba mas Mufti yang baru saja menyusul kami melihat seekor Uncal Buau (Macrophygia emiliana/Ruddy Cuckoo-dove) di semak-semak. Sontak kami semua menahan napas, karena Uncal Buau adalah burung misterius yang jarang terlihat. Burung dari keluarga columbidae ini sangat suka bersembunyi di semak-semak, dan segera menjauh apabila ada gangguan sekecil apapun. Karena kebiasaannya ini, lagi-lagi kami gagal mendapatkan frame yang bagus dari burung ini.

Uncal Buau (Macropygia emiliana/Ruddy Cuckoo-dove) by Pakde Robert

“Arep tekan ngendi ni cah?”, ujar saya. “Balik atau tekan Nirmolo?”

Kami berdiskusi cukup lama, apakah kami akan melanjutkan perjalanan sampai Tlogo Nirmolo atau balik sekarang juga. Karena belum puas, kami putuskan untuk terus berjalan hingga Tlogo Nirmolo.

Jalan menuju Tlogo Nirmolo cukup dekat, dan tidak terlalu rusak bila dibandingkan dengan jalan menuju puncak Plawangan. Cukup menyenangkan, apalagi kami sempat melihat atraksi 3 ekor Sikep Madu Asia yang bersoaring ria di atas kami. Salah satu dari mereka muncul kurang dari 5 meter di samping kami sambil membawa mangsa, seekor tikus. Wow!

Perjalanan menuju Tlogo Nirmolo cukup lancar. Tepat jam 12 siang kami beristirahat sebentar sambil membuka bekal.

“Biasanya habis 3 botol air. Sekarang 1 botol aja nggak habis”, ujar Pakde yang biasa hunting di wilayah panas. “Hawanya enak buat hunting”

Nah, disinilah mas Untung mengadakan atraksi membelah apel dengan tangan! Tidak ada pisau, tanganpun jadi.

Setelah beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Saat itulah datang burung-burung penyanyi, diawali dari seekor Sikatan Belang (Ficedula westermani/Pied Flycatcher) yang cukup narsis, hinggap di batang ranting hanya beberapa meter dari kami. Kemudian ada Jinjing Batu (Hemipus hirundinaceus/Black-winged Flycatcher Shrike) dan Sikatan Ninon (Eumyas indigo/Indigo Flycatcher). Akhirnya, dapat beberapa frame yang lumayan.

Jinjing Batu (Hemipus hirundinaecus/Black-winged Flycatcher Shrike) Betina by Pakde Robert
Jinjing Batu (Hemipus hirundinaecus/Black-winge dFlycatcher Shrike) Jantan by Pakde Robert
Sikatan Belang (Ficedula westernmani/Little Pied Flycatcher) by Pakde Robert

Namun saya sempat ragu dengan warna cokelat di punggung Sikatan Ninon. Setelah kami cek, ternyata itu bukan Sikatan Ninon, melainkan Kehicap Ranting (Hypothymis azurea/Black-naped Monarch) betina. Dan yeay! Saya belum pernah melihatnya. Akhirnya, Kehicap Ranting menjadi spesies ke 250 yang pernah saya lihat dalam hidup saya! 😀

Sampai di pintu gerbang Tlogo Nirmolo, kami berisitirahat sejenak dan mencuci muka. Disaat itulah kami meminjam kamera milik Pakde Rober buat diajak berfoto. Hahhaa, kompak sekali!

Nah, perjalanan pulang dari Tlogo Nirmolo menuju Tlogo Putri hanya memakan waktu 15 menit kalau melewati jalan aspal. Selama perjalanan, Pakde Robert meminjamkan kameranya untuk kami jajal dan berlatih memotret.

Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster/Sooty-headed Bulbul) by Panji G. A.

Ternyata Lensa zoom 100-400mm IS milik Pakde cukup berat, dan cukup sulit bagi saya untuk menemukan lokasi burung hinggap kalau tidak menggunakan Zoom out. Sambil berjalan, Pakde menerangkan beberapa tips fotografi alam liar kepada kami. Lumayan lah, buat nambah ilmu. Nah, disaat itulah muncul sekeor Elang-ular Bido terbang soaring dari arah selatan.

Setelah potret memotret burung, kami menjumpai sebuah warung makan yang unik. Dengan jelas, mata-mata melarat kami menjumpai kata-kata yang tidak wajar tercetak di depannya.

“SOTO AYAM Rp.1500,-“

Soto ayam Rp. 1500??

“Jo, beneran ra yo?”, tanya saya.
“Ayo coba yo”, jawab Pakde Robert.

Well, memang benar harganya cuman segitu. Namun porsinya terlalu kecil, tapi rasanya cukup enak. Dan lebih enak lagi, kami ditraktir Pakde Robert!

The Team by Mas untung

Terimakasih Pakde! ^_^

Satu respons untuk “Dari Meninting Besar Hingga Ke Soto Rp. 1500,-

Tinggalkan komentar