Pesona Gunung Purba

Bermain Bersama (Foto by: Mas Mufti)

Minggu, 24 Oktober 2010

Dalam undangannya, Mbak Sita—ketua Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) menginstruksikan kami untuk berkumpul pada pukul 15.00 siang, sementara saya baru bisa berangkat pukul 14.30 dan perjalanan dari rumah saya menuju lokasi berkumpul kira-kira memakan waktu 1 jam by angkot. Waduh??

Yupz, tiada hari tanpa birdwatching. Toh, udah lama saya nggak ikut pengamatan satu malam seperti yang diadakan PPBJ di NGlanggeran, Gunung Kidul. Agendanya dikhususkan untuk pengamatan raptor migrant sebagai salah satu rangkaian acara festival raptor migrant 2010 dan karena lokasinya lumayan jauh jadi kami harus menginap disana. Otrelah, ayo!!

Sesuai pepatah darsalah satu kawan saya di sekolah, “Orang jawa (mungkin keseluruhan indonesia?) itu kalau belum satu jam belum telat”. Pas saya sampai di titik berkumpul satu—sekretariat MATALA BIOGAMA Fak. Biologi UGM—ternyata tidak ada indikasi keramaian ala birdwatcher. Saat itu waktu menunjukan pukul 15.30, telat 30 menit dari waktu semula. Dengan perasaan was-was takut ditinggal saya mengirim SMS ke mbak Sita apakah sudah berangkat, dan jawabnya belum!

Akhirnya saya coba hubungi mas Edi, anggota MATALA yang nantinya akan mengantar kami kesana. Ternyata belum pada datang! Akhirnya saya cuman bisa mondar-mandir kayak orang hilang di tempat itu, mencari-cari sekretariat Matala yang lokasinya terpencil itu. Gimana nggak terpencil? lokasinya di belakang gitu deh..

Sekitar setengah jam menunggu, barulah kawan-kawan yang lain datang, yakni mereka yang baru mengamati raptor di puncak Jarum Kaaliurang beberapa waktu yang lalu. Diantaranya ada Iksan, seorang birdwatcher ambisius dari SMPN 16 yang akhirnya berduet dengan saya adu ejek melawan mbak-mbak penjaga sekretariat MATALA, khususnya menyangkut trophi “JUARA 1 LOMBA MASAK”  tingkat FK Biologi UGM. Hua? Matala juara lomba masak?? *membayangkan tumis begonia daging biawak*

Pukul 17.30 kami bisa berangkat di tengah hujan deras. Saya naik motor bersama mas Apha (bukan bentengnya Avatar lo!), terus ada juga Antok dan Iksan dari SMPN 16, Mbak Sita dan beberapa kawan lainnya. Ayo Apha! Yipyip! Lumayan jauh juga sih, ditambah hujan yang tidak berhenti—celana saya basah sampai paha!. Apalagi begitu mencapai jalan desa, kabutnya nggak ketulungan. Saya dan mas Apha tak berhenti memicingkan mata untuk melihat jalan karena jarak pandang hanya 5 meter! Udah gitu ditambah kesasar lagi, uh!

Begitu sampai nggak ada yang bisa saya lakukan selain meminjam sarung punya antok dan berganti celana. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, saling ejek orang-orang sekolahan vs orang-orang kuliahan dan mengirup teh manis,kami pun mulai beranjak tidur. Tapi ternyata rencana tidur kami harus dibatalkan karena kami sadar kami belum ngantuk! Haha..

Saat itu mulai berdatangan beberapa orang MAPALA yang ingin mendaki gunung (bukit) Nglanggeran juga, akhirnya kamipun tenggelam dalam pembicaraan yang asyik.  Baru sebentar kami para laki-laki mencoba tidur lagi sampai….

“Wah, mas-masnya kok udah pada tidur e??”

Sontak para laki-laki bangun semua! Eh, aneh, kami kagak ada yang tidur lagi! Gimana bisa tidur lagi sementara dari tadi kami diajak bercanda terus?

Intinya, kami malah asyik mengobrol sampai menunggu kawan-kawan lainnya memasak singkong sebagai camilan malam. Hmm… mantab! Acara saloing ejek pun kembvali dimulai. Kubu sekolahan: Saya, Iklsan Antok plus satu orang MAPALA, Irma yang juga masih SMA melawan kubu Akademisi yang hanya terdiri dari satu orang: Mbak Yuni. Pokoknya, kubu akademisi habis ditelantarkan!

Akhirnya setelah para MAPALA berangkat mendaki, kami pun tertidur lelap meski harus berembut tempat. Semalaman kami meributkan mitos tidur sejajar dengan kayu penahan atap yang katanya bakal “ketindihan” alias mengalami keadaan setengah sadar, tak bisa bernafas dan seperti melihat bayangan-bayangan gelap yang menindih tubuh kita. Ah, pokoknya seru!

Nah, keesokan harinya baru kami ramai-ramai bersiap mendaki gunung (bukit) langgeran. Setelah sarapan dan “memanggang celana” diatas bara api, pukul 06.30 kami bergegas menuju puncak Nglanggeran.

Bukit Ngalnggeran terletak di kabupaten Gunung Kidul. Ketinggian dari basecampnya tidak setinggi turgo, tapi track-nya lumayan menggiurkan. Kombinasi Batu Karst yang keras dan tajam serta tanah merah yang lengket dan licin membuat kami agak kesulitan mendaki. bukit ini. Beberapa kali kami terpseleset dan juga kotor oleh tanah becek ini. Tapi pemandangannya menakjubkan! Baru sampai pos 1 (100 meteran dari basecamp) sudah bisa lihat Gelatik Batu Kelabu (Parus major/Great Tit) sedang terbang rendah. Ada juga sekelompok Walet Linchi (Collucalia linchii/Common Swiflet) dan Walet sarang-hitam (Colucalia fuchiphaga/Edible-nest Swiflet), ditambah suara Cekakak Sungai (Halcyon chloris/Coralled Kingfisher) dan Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus/Plaintative Cuckoo).

Ternyata tidak terlalu jauh juga. Dalam 45 menit kami sampai di puncak bukit ini dan menyaksikan suatu keajaiban yang luar biasa. Pesona gunung purba dengan tebing-tebing karts-nya, hebat! Sulit untuk menggambarkan pemandangan ini, dengan bukit-bukit bertebing curam dipadu pepohonan dan rumput terbuka, kolam air dan bundaran-bundaran berkas erosi yang cantik!

Beberapa lama saya disini, saya tertarik dengan beberapa ekor walet berukuran besar. Tebakan saya adalah Kapinis Rumah (Apus affinis/Little Swift), akan tetapi disamping para Kapinis rumah tadi ada beberapa ekor Walet berukuran lebih besar lagi—mungkin yang belum terbiasa akan melihatnya raksasa. Setelah berdiskusi dengan mas Randi (asal KSSL FKH UGM), kami menyimpulkan spesies Kapinis Laut (Apus pasificus/Pasific Swift) yang memiliki ekor menggunting yang khas. Lucu juga, dari tadi mereka hanya terbang rendah sangat dekat dengan tempat kami berdiri sambiol berburu Laron (rayap terbang-jawa). Wow! Kabar baiknya adalah Kapinis Laut merupakan burung migran yang berasosiasi dengan para raptor migran. Intinya, ada kemungkinan besar pertemuan dengan raptor migran hari ini.

Dan ya! Awalnya kami hanya melihat satu ekor Sikep Madu Asia (Pernis ptylorhinchus/ Oriental Honey-buzzard) yang terbang membumbung (soaring) di kejauhan, sampai kemudian muncul satu ekor lagi juga di kejauhan. Ada juga seekor Elang-ular Bido (Spilornis cheela/Crested Sherpent-eagle) yang memang bisa ditemukan di hampir semua ketinggian. Burung yang satu ini cukup berisik, tapi toh juga malah mempermudah kami menemukan keberadaannya.

Sekitar 30 menit kemudian tidak ada satupun raptor yang muncul. Pengamatan agak sedikit terganggu karena kemunculan kelabang-kelabang besar dari balik batu. Yah, begitulah, cuman bisa teriak-teriak.. hii…

Layang-layang Loreng (Foto By: Mas Mufti)

 

Agak lama, kami menyadari keadaan burung layang-layang disini. Awalnya kami hanya mengira Layang-layang Api (Hirundo rustica/Barn Swallow) yang memang umum terlihat saat musim migrasi. Namun memlihat tanda merah di tinggirnya, saya mengira ini adalah spesies Layang-layang Loreng (Hirundo striolata/Striated Swallow). Ternyata kawan-kawan juga berpikiran sama, dan akhirnya kami semua menyimpulkan burung-burung yang suka terbang melayang ini sebagai Layang-layang Loreng.

Baru saja kami leyeh-leyeh, satu teriakan membangunkan kami. Elang-alap Cina! Yeah, Elang-alap Cina (Accipiter soloensis/Chinese Goshawk) terbang rendah di belakang kami. Baru beberapa detik muncul lagi seekor Sikep Madu Asia di sebelah si Alap-alap tadi, lalu selama beberapa menit kemudian kami hanya dihibur oleh beberapa individu Sikep Madu Asia yang mondar-mandir terbang dengan jarak super dekat dengan kami. Walah!

Satu hal yang membuat kami terkejut adalah ketika seekor Sikep Madu Asia terbang rendah di bukit seberang,  kemudian meluncur mendekati sebuah pohon kering dan hinggap disana. Wow, seumur hidup baru kali ini saya bisa melihat Sikep Madu Asia hinggap! Tak tanggung-tanggung 2 individu yang lain juga melakukan hal yang sama di pohon yang sama. 3 ekor Sikep Madu Asia dalam 1 pohon! Bukankah ini luar biasa?

 

Fighter! (Foto by: Mas Mufti)

Setelah beberapa lama kami menunggu, tidak ada penampakan lagi. Cuaca juga mulai absurd, hujan gerimis-panas-berkabut, ditambah lagi logistik makanan sudah habis. Akhirnya kami putuskan untuk segera turun bukit (gunung?) sambil memantau langit kalau-kalau ada tanda-tand akemunculan raptor lagi.  Sementara itu, mas Randy (KSSL) dan mbak Sita terus-terusan ribut masalah kupu-kupu, sesuatu yang tidak saya mengerti. Haduh, jadi pingin banget belajar butterfly watching!

****

On Time! Tepat saat kami memasuki teras basecamp hujan turun dengan derasnya. Saya bersyukur hujan turun, karena di pos II ada seorang iseng yang membuat atap pos II terbakar habis. Dengan hujan ini, semoga apinya padam, amin! Sekarang dalam kebosanan menunggu, tiga orang punggawa datang kemari. Mas Azat, Mas Batak (Kutilang Indonesia) serta Mas Gundul (KP3 UGM) yang tadi mengamati raptor di Puncak jarum, Kaliurang sekarang sudah sampai di sini demi membuktikan cerita kami barusan. Sayangnya, kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk naik ke atas. Akhirnya saya, mbak Sita, mas Randy serta 3 orang tadi hanya mendaki sampai pos 1—lainnya sudah pulang duluan. Mas Azat dan Mbak Sita mendaki agak sedikit keatas, sementara sisanya hanya menunggu di pos 1.

 

Fly!!! (Foto By: Mas Mufti)

Ternyata cukup banyak burung yang kami lihat di pos 1, yang paling menggembirakan adalah Elang-alap Cina serta sepasang Kirik-kirik Laut (Merops leshcenaulti/Chesnut-headed Bee-eater). Burung yang saya sebut terakhir ini sangat spesial karena warnanya yang cantik serta kelakuaannya yang lucu. Warna dominan hijau, kepala coklat marun, pipi dan tenggorkan kuning, topeng hitam plus ekor biru laut, dengan gaya terbang yang flamboyan, meliuk dan menerjang serangga dengan cepat, lalu hinggap kembali dengan tenang.

Satu hal yang menarik adalah kata “Kirik” dalam bahasa jawa berarti anjing, padahal burung ini tidak ada sangkut bautnya dengan anjing. Mungkin karena suaranya yang berbunyi seperti “Kirk-kierik-keiriik” sehingga orang-orang memanggilnya kirik-kirik. Karena keunikan anmanya, para birdwatcher sering memanggilnya dengan nama lain, misal “Asu-asu” (Asu=anjing dalam bahasa jawa ngoko) dan “Segawon-segawon” (Segawon=anjing dalam bahasa jawa Krama). Khusus untuk Kirk-kirik senja, saya lebih suka memanggilnya Segawon-segawon sunset.

Matahari mulai tenggelam, awan dan kabut silih berganti kian mendekat. Kami masih disini, di pos 1 Nglanggeran, mengamati keindahan ciptaanNya, suatu kehebatan sang Illahi, dan masterpiece yang sebenarnya dari Maestro Pencipta. Andaikan keindahan ini bisa bertahan selamanya, seperti suara angin yang berpadu dengan nanyian burung di ujung hari. Inilah, Indonesiaku!